Catatan Pulang Kampung -Di Bandara Aroeppala Selayar
Bandara Aroeppala Selayar masih sederhana. Panjang landasan nya hanya bisa didarati pesawat kecil, paling besar ya, kelas ATR saja. Apron atau parkirannya pun paling hanya bisa menampung dua-tiga pesawat.
Dan tentunya belum ada fasilitas ground handling sekomplit bandara-bandara yang bisa menampung pesawat berbadan besar. Hanya ada marshaller, tukang parkir yang mengarahkan pesawat dari taxi way ke parkiran.
Pesawat yang berangkat pun tanpa di push back. Setelah pintu penumpang ditutup, pesawat langsung tancap gas dan banting stir berbelok seratus delapan puluh derajat menuju taxi way.
Bagasi penumpang dinaikkan ke gerobak dan dan ditarik manual ke pintu terminal. Tak ada traktor.
Aku perhatikan di bandara itu ada beberapa bangunan. Satu bangunan terminal dengan dua ruangan, ruang kedatangan dan keberangkatan. Ada tower dan bangunan untuk pemadam kebakaran. Sisanya mungkin perumahan untuk pekerja bandara.
Ada pula pelataran yang dijadikan lokasi parkir, mungkin bisa menampung belasan kendaraan roda empat. Ada sebuah kantin di samping terminal. Dan karena kepulangan kami masih dalam momen agustusan, bendera dan umbul-umbul merah putih berkibar di sana-sini.
Cuaca lumayan panas, disamping karena musim kemarau, pun karena kawasan bandara yang berada di pesisir barat dengan karakter alam batu cadas yang susah menumbuhkan pepohonan rindang. Hanya ada belukar yang sebagian tampak mengering akibat berbulan lamanya menadah panas pesisir. Dedaunan menunduk layu hampir terkatup. Sebentar lagi mengering dan gugur tersenggol angin. Bapak, ammak dan Arwan sudah menuggu kami di pintu terminal. Fia meronta-ronta di gendongan neneknya karena tidak terbiasa dengan orang yang baru dikenal. Bahkan dalam perjalanan kami ke rumah di mobil sewaan, dia masih saja nangis teriak-teriak. Ammak membuka kotak bekal dan disodorinya pisang goreng, ditepis. Yah, dasar anak jawa!
Aku perhatikan di bandara itu ada beberapa bangunan. Satu bangunan terminal dengan dua ruangan, ruang kedatangan dan keberangkatan. Ada tower dan bangunan untuk pemadam kebakaran. Sisanya mungkin perumahan untuk pekerja bandara.
Ada pula pelataran yang dijadikan lokasi parkir, mungkin bisa menampung belasan kendaraan roda empat. Ada sebuah kantin di samping terminal. Dan karena kepulangan kami masih dalam momen agustusan, bendera dan umbul-umbul merah putih berkibar di sana-sini.
Cuaca lumayan panas, disamping karena musim kemarau, pun karena kawasan bandara yang berada di pesisir barat dengan karakter alam batu cadas yang susah menumbuhkan pepohonan rindang. Hanya ada belukar yang sebagian tampak mengering akibat berbulan lamanya menadah panas pesisir. Dedaunan menunduk layu hampir terkatup. Sebentar lagi mengering dan gugur tersenggol angin. Bapak, ammak dan Arwan sudah menuggu kami di pintu terminal. Fia meronta-ronta di gendongan neneknya karena tidak terbiasa dengan orang yang baru dikenal. Bahkan dalam perjalanan kami ke rumah di mobil sewaan, dia masih saja nangis teriak-teriak. Ammak membuka kotak bekal dan disodorinya pisang goreng, ditepis. Yah, dasar anak jawa!





Comments
Post a Comment