Catatan Pulang Kampung-Sebuah Rumah Yang Mencium Jalanan
Perjalanan dari bandara ke rumah kami di kampung dallemambua, desa bonea timur, kecamatan bonto manai ditempuh kurang lebih 45 menit. Dari bandara ke utara menuju kota benteng.
Dan setelah melewati jembatan appa batu di batas kota, berbelok ke timur membelah perkebunan kelapa dan rimba belukar. Bahkan boleh dikata bahwa, perjalanan ke kampung tempatku dilahirkan adalah perjalanan melintasi hutan demi hutan dan kampung demi kampung. Jadi meskipun pulauku, selayar adalah pulau mungil yang berada di tengah kepulauan Indonesia, namun aku serasa dilahirkan di sudut dunia
Kurang lebih sejam kemudian, sampailah kami di rumah kami yang agak kumuh di pinggir jalan ini. Walau usianya baru sekitar 16 tahun karena dibangun pada sekitar tahun 2000, ada banyak kisah yang bisa kuceritakan tentang rumah ini. Ini adalah rumah kami yang ke-6. Bukan berarti rumah kami ada 6, tetapi karena kami tinggal berpindah-pindah, jadilah ini tempat tinggal kami yang ke-6.
Masalah mengapa tinggal nomaden seperti moyang kami, itu punya cerita sendiri yang mungkin belum bisa kuceritakan di sini. Rumah kami terbilang aneh jika dibandingkan rumah-rumah di kampungku. Kusebut aneh karena umumnya, rumah panggung di sini memiliki tiang, lantai dan dinding dari kayu. Sedangkan rumah kami, kendati rumah panggung, tetapi tiang dan rangkanya dari cor-coran semen. Hanya lantai dan dindingnya dari kayu. Atapnya sebagian bambu, sebagian lagi seng. Sedangkan di pelataran atapnya genting.
Selain aneh, posisi rumah kami juga mungkin agak lucu karena jalan di depan rumah sendiri lebih tinggi ketimbang lantai rumah kami. Tanah dari jalan yang menjorok ke kolong rumah membuat rumah ini seperti mencium jalanan.
Dan setelah melewati jembatan appa batu di batas kota, berbelok ke timur membelah perkebunan kelapa dan rimba belukar. Bahkan boleh dikata bahwa, perjalanan ke kampung tempatku dilahirkan adalah perjalanan melintasi hutan demi hutan dan kampung demi kampung. Jadi meskipun pulauku, selayar adalah pulau mungil yang berada di tengah kepulauan Indonesia, namun aku serasa dilahirkan di sudut dunia
Kurang lebih sejam kemudian, sampailah kami di rumah kami yang agak kumuh di pinggir jalan ini. Walau usianya baru sekitar 16 tahun karena dibangun pada sekitar tahun 2000, ada banyak kisah yang bisa kuceritakan tentang rumah ini. Ini adalah rumah kami yang ke-6. Bukan berarti rumah kami ada 6, tetapi karena kami tinggal berpindah-pindah, jadilah ini tempat tinggal kami yang ke-6.
Masalah mengapa tinggal nomaden seperti moyang kami, itu punya cerita sendiri yang mungkin belum bisa kuceritakan di sini. Rumah kami terbilang aneh jika dibandingkan rumah-rumah di kampungku. Kusebut aneh karena umumnya, rumah panggung di sini memiliki tiang, lantai dan dinding dari kayu. Sedangkan rumah kami, kendati rumah panggung, tetapi tiang dan rangkanya dari cor-coran semen. Hanya lantai dan dindingnya dari kayu. Atapnya sebagian bambu, sebagian lagi seng. Sedangkan di pelataran atapnya genting.
Selain aneh, posisi rumah kami juga mungkin agak lucu karena jalan di depan rumah sendiri lebih tinggi ketimbang lantai rumah kami. Tanah dari jalan yang menjorok ke kolong rumah membuat rumah ini seperti mencium jalanan.






Comments
Post a Comment