Pusuk Sembalun

Seperti apa itu Sembalun, tempat wisata yang berada di kaki gunung rinjani dalam pandanganku, mari kucoba ceritakan.

Sekitar setengah sembilan pagi, rombongan yang terdiri dari 2 buah mobil, satu pick up dan satu avanza bertolak dari kampung buwuh, lombok barat. Mobil melaju melewati jalan mulus menuju lombok tengah. Kiri kanan jalan membentang persawahan, perumahan penduduk dan sederet baliho. Angin sejuk mengalir masuk dari kaca mobil avanza yang kami tumpangi. Isinya riuh dengan obrolan berbahasa sasak. Aku sendiri roaming.

Tak  banyak kuingat dari gambar-gambar poster tokoh daerah lombok tersebut. Yang sempat terekam hanya seorang wanita dengan kerudung panjang hitam yang tak kuhapal namanya. Hanya di bawah namanya itu tertulis, "Pelanjut TGB (Tuan Guru Bajang)". TGB adalah singkatan dari Tuan Guru Bajang, gelar gubernur NTB saat ini yang menurut cerita sepupu mel kemarin, telah berhasil memajukan Lombok terutama di bidang pariwisata.

Aku membenarkan hal ini jika melihat jalanan mulus ber hot mix yang dibangun menuju tempat wisata kali ini. Boleh dikata tak ada jalan berlobang. Hafifi, kakak mel, kakak iparku yang duduk di belakang setir malah ngebut dan berkali-kali menyalip kendaraan di depan. Walau jarum di speedometer cuma menunjuk angka 80, kecepatan itu sudah agak membuatku ngeri. Sepertinya memang aku agak phobia speed.

Lombok tengah terlewati, masuk ke lombok timur. Pemandangan kiri kanan tetap indah menghijau. Ada latar belakang perbukitan berselalut kabut tipis. Matahari mendongak dari balik awan menyinari sesayuran di kebun dan pepadian di persawahan. Burung dan serangga berkejaran di pucuk-pucuk tanaman. Sekelilingnya ada tanggul-tanggul tembok irigasi dan air  jernih mengalir lancar memasuki sungai. Sesekali terlihat seorang  lelaki bertopi terbungkuk-bungkuk di tengah ladang. Tangannya memegang sesuatu, mungkin pacul, mungkin parang atau boleh jadi alat pemotong rumput modern. Sebuah lanskap yang luar biasa indah maha karya Sang maha agung. Walau sering sang maha seniman di balik itu sendiri semua terlupakan.

Perjalanan kemudian menanjak memasuki hutan kawasan konservasi rinjani. Mobil meraung agak keras setelah dioper ke gigi satu. Sekeliling hanya pepohonan meranggas tinggi dan jalin-menjalin satu sama lain seolah berpegangan tangan. Jalanan berkelok ke sana berkelok ke sini. Di beberapa tikungan nampak agak gelap karena sinar matahari terhalang rimbun dedaunan. Monyet-monyet menunggui pinggiran jalan, menanti penumpang melemparkan remah jajanan.


Pemandangan monyet kadang disela dengan tanah bekas galian pelebaran jalan. Kiranya jalanan mulus ini masih akan diperlebar agar lebih menyamankan pengunjung. Ya, dengan kondisi jalan yang masih agak sempit, kendaraan roda empat sangat rawan bertabrakan di beberapa kelokan tajam. Aku sendiri berkali-kali harus menahan nafas saat kami menyalip atau berpapasan dengan kendaraan lain. Jarak dari kendaraan tepi ke tepi rasa-rasanya cuma sejengkal. Salah-salah memutar setir, kereta-kereta bermesin ini akan bersenggolan. Yang kalah kuat akan terhuyung menghajar tebing di sampingnya. Kalau tidak sempoyongan dan salto menghujam dasar jurang.

Namun akhirnya, ketegangan setelah tanjakan  berkelok-kelok ini pun terbayar sudah sesampai di sembalun. Pemandangan dari ketinggian seribu meter di kaki gunung rinjani. Sudah banyak orang dengan niatan yang sama  duluan tiba di sana. Kebanyakan mereka adalah remaja laki-perempuan. Sebuah plat besar bertuliskan "... terentang di kaki sebuah bukit.

Jalanan berakhir di sebuah gerbang. Di dalamnya ada pelataran semen bertembok besi. Masuk ke situ bayar lima ribu rupiah untuk dewasa saja. Anak-anak tak kena bayar. Dari pagar ini bisa terlihat pemandangan atap-atap rumah penduduk jauh di lembah sana. Gunung-gunung tebing bertudung rumput hijau seperti  savana.

Beberapa ekor monyet bergelayut di pagar-pagar pengaman itu. Ada yang berdiri tegak dan jalan seperti manusia, memberanikan diri menghampiri pengunjung, minta dilempari kacang. Sedang orang-orang ada yang peduli tapi kebanyakan tidak menggubris. Yang belakangan ini lebih tertarik meniru tingkah primata itu, merangkak dan memanjati bukit-bukit terjal  di kiri kanan jalan buntu sembari membawa tongsis. Dari atas bukit itu tongsis diacungkan tinggi-tinggi ke depan muka seperti pesulap.
Lalu akan banyak ekspresi wajah yang terlihat di depan be da setelapak tangan itu.  Dari senyum girang mengembang bak manten baru, menyeringai seperti sapi, meringis seolah barusan kena cubit mamanya, manyun mirip bocak nggak kebagian jajan, monyong kayak calon bupati kalah pilkada, menjulurkan lidah persis scooby kehausan atau menjulingkan mata seolah ada lalat hinggap di ujung hidungnya.

Ada pula yang minta difoto temannya pake kamera panjang. Yang ini modelnya lain lagi. Ada yang merentangkan tangan seperti penyihir, mendongak ke langit seolah minta hujan, menunjuk awan seperti anak kecil baru melihat pesawat terbang, bertolak pinggang kayak mandor, bersedekap seperti orang kedinginan, menaikkan jempol mirip bintang iklan penyedap rasa, malah ada yang mengepalkan tangan meniru bung tomo. Posisi apa pun diperbolehkan. Ada yang berfoto sambil  ngangkang, membungkuk, jongkok dan seandainya tidak malu, mungkin ada yang dijepreti blitz sambil tiarap. Intinya orang-orang ini bersuka cita demi sampai ke tempat berfoto latar gegunungan itu. Ujung-ujungnya bisa ditebak bahwa foto-foto ini akan dipamerkan di medsos. Demikian model manusia di zaman digital.

Sedang berfoto ria di pelataran, fia merengek minta susu padahal botol susunya tertinggal di mobil. Aku jadi menyesalkan kelalaian mamanya. Terpaksa mereka balik ke parkiran. Oya, aku jadi lupa bercerita tadi bahwa yang perlu dibenahi di sini mungkin adalah tempat parkirannya, khususnya parkiran roda empat yang masih agak sempit. Mobil cuma diparkir di pinggir jalan dengan dijaga beberapa tukang parkir.

Di samping parkiran berderet beberapa tempat jualan makanan ringan dan kopi yang sayangnya kurang terjaga kebersihannya. Saat baru datang, terlihat seekor monyet memungut bungkusan bekas sambal bakso dari serakan sampah dan mengisapnya seperti bocah mengisap es lilin.

Dari parkiran mamanya fia melambai-lambaikan tangan. Pintu mobil terkunci,katanya. Sedang kunci mobil dikantongi oleh omnya yang lagi selfie di atas bukit. Jadilah aku ikut manjat ke bukit demi kunci mobil.

Tak ada tangga untuk ke sana. Hanya setapak berbatu yang kalau tidak hati-hati memposisikan kaki, bakal tergelincir dan terguling dari ketinggian. Ini jadi catatan lagj bagi pemda: perlu dibikinkan tangga bagi pengunjung yang hendak ke "bukit selfie".

Sepanjang mendaki seperti kera itu, terbayang di kepala jalanan setapak dari kebun-kebun menuju kampung di daerahku. Tidak jauh beda. Yang membedakan, pengunjung di sini mendaki sambil menenteng kamera sedangkan di kampung, sembari memikul karung kelapa.

Maka tampaklah aksiku di depan kamera seperti foto-foto di bawah ini





Comments

Popular posts from this blog

Bongkar-pasang main wheel

Inspeksi Harian Pesawat Terbang 4 - Nose Landing Gear and doors

Inspeksi harian pesawat terbang 15 - cek peralatan keselamatan di cabin