Catatan perjalanan ke Lombok
![]() |
| Panorama di pusuk, Sembalun |
Sumpek dengan aktivitas sehari-hari, lalu-lalang manusia di jalan raya dengan kendaraan berkepul asap, serta parkiran pesawat dan raungan mesin, sampai jualah akhirnya aku ambil cuti dan pulang ke kampung halaman istri di Lombok. Tiba-tiba terbersit saja di pikiranku bahwa adalah kesalahan besar manusia jika membabat hutan, meratakan gunung, menghancurkan alam. Karena toh pada akhirnya, setelah sampai ke puncak teknologi pun, manusia tetap akan perlu mengunjungi tempat asal- muasal dia diciptakan. Mengunjungi tanah, air, pohon, gunung dan bebatuan.
Bersama Fia dan mamanya, aku mendarat di Bandara Internasional Lombok dengan Citilink kira-kira pukul setengah 6 petang WITA, pada tanggal 1 Agustus 2017.
Dinamakan: Bandara Internasional Lombok!
Aku pikir ini cuma nama sementara saja. Menurutku nama itu terlalu umum dan sederhana. Mengapa tidak memakai nama-nama pahlawan setempat? Aku kira bukan karena Lombok tidak punya pahlawan. Tapi mungkin karena orang Lombok belum berpikir ke sana. Di kabupatenku Selayar saja, dermaga dan bandara sudah diberi nama dengan nama-nama pahlawan lokal: Bandara Aroeppala dan Dermaga Rauf Rahman.
Disambut kami oleh keluarga dengan mobil elp kecil putih yang sederhana. Tak ber-AC dan lajunya seret. Kendati gasnya mungkin sudah diinjak pol oleh Kak Anto, kakak iparnya Mel yang duduk di belakang setir, tetapi tetap harus merelakan disalip oleh mobil- mobil mewah. Mobil lalu penuh dengan obrolan berbahasa sasak yang membuatku hanya bisa diam. Tak paham apa-apa kendati pun misalnya dalam obrolan itu tersisip omongan bahwa aku akan dijual.
Maka kulempar saja pandanganku keluar jendela pada deretan bangunan, pohon dan persawahan yang nampak menggelap karena lampu penerang yang minim. Iseng-iseng saja kucoba hitung jumlah mesjid dan mushollah di pinggir jalan. Pulau Lombok, dengar-dengar dijuluki Pulau Seribu mesjid. Benar saja, hampir setiap helaan nafas selalu nampak mesjid atau mushollah.
Ada sekitar 30 mesjid dan mushollah yang berdiri di pinggir jalan antara bandara dan tempat tinggal keluarga di desa mambalan, gunung sari, lombok barat.
Buwuh, 02 Agustus 2017
7 Sembalun, koko puteh, mesjid tua bayan dan sendang gile Seperti apa itu Sembalun, tempat wisata yang berada di kaki gunung rinjani dalam pandanganku, maru kucoba ceritakan. Sekitar setengah 9 pagi, rombongan yang terdiri dari 2 buah mobil, satu pick up dan satu avanza bertolak dari kampung buwuh, lombok barat. Mobil melaju melewati jalan mulus menuju lombok tengah. Kiri kanan jalan membentang persawahan, perumahan penduduk dan sederet baliho. Angin sejuk mengalir masuk dari kaca mobil avanza yang kami tumpangi. Isinya riuh dengan obrolan berbahasa sasak. Aku sendiri roaming. Tak banyak kuingat dari gambar-gambar poster tokoh daerah lombok tersebut. Yang sempat terekam hanya seorang wanita dengan kerudung panjang hitam yang tak kuhapal namanya. Hanya di bawah namanya itu tertulis, "Pelanjut TGB (Tuan Guru Bajang)". TGB adalah singkatan dari Tuan Guru Bajang, gelar gubernur NTB saat ini yang menurut cerita sepupu mel kemarin, telah berhasil memajukan Lombok terutama di bidang pariwisata. Aku membenarkan hal ini jika melihat jalanan mulus ber hot mix yang dibangun menuju tempat wisata kali ini. Boleh dikata tak ada jalan berlobang. Hafifi, kakak mel, kakak iparku yang duduk di belakang setir malah ngebut dan berkali-kali menyalip kendaraan di depan. Walau jarum di speedometer cuma menunjuk angka 80, kecepatan itu sudah agak membuatku ngeri. Sepertinya memang aku agak phobia speed. Lombok tengah terlewati, masuk ke lombok timur. Pemandangan kiri kanan tetap indah menghijau. Ada latar belakang perbukitan berselalut kabut tipis. Matahari mendongak dari balik awan menyinari sesayuran di kebun dan pepadian di persawahan. Burung dan serangga berkejaran di pucuk-pucuk tanaman. Sekelilingnya ada tanggul-tanggul tembok irigasi dan air jernih mengalir lancar memasuki sungai. Sesekali terlihat seorang lelaki bertopi terbungkuk-bungkuk di tengah ladang. Tangannya memegang sesuatu, mungkin pacul, mungkin parang atau boleh jadi alat pemotong rumput modern. Sebuah lanskap yang luar biasa indah maha karya Sang maha agung. Walau sering sang maha seniman di balik itu sendiri semua terlupakan. Perjalanan kemudian menanjak memasuki hutan kawasan konservasi rinjani. Mobil meraung agak keras setelah dioper ke gigi satu. Sekeliling hanya pepohonan meranggas tinggi dan jalin-menjalin satu sama lain seolah berpegangan tangan. Jalanan berkelok ke sana berkelok ke sini. Di beberapa tikungan nampak agak gelap karena sinar matahari terhalang rimbun dedaunan. Monyet-monyet menunggui pinggiran jalan, menanti penumpang melemparkan remah jajanan. Pemandangan monyet kadang disela dengan tanah bekas galian pelebaran jalan. Kiranya jalanan mulus ini masih akan diperlebar agar lebih menyamankan pengunjung. Ya, dengan kondisi jalan yang masih agak sempit, kendaraan roda empat sangat rawan bertabrakan di beberapa kelokan tajam. Aku sendiri berkali-kali harus menahan nafas saat kami menyalip atau berpapasan dengan kendaraan lain. Jarak dari kendaraan tepi ke tepi rasa-rasanya cuma sejengkal. Salah-salah memutar setir, kereta-kereta bermesin ini akan bersenggolan. Yang kalah kuat akan terhuyung menghajar tebing di sampingnya. Kalau tidak sempoyongan dan salto menghujam dasar jurang. Namun akhirnya, ketegangan setelah tanjakan berkelok-kelok ini pun terbayar sudah sesampai di sembalun. Pemandangan dari ketinggian seribu meter di kaki gunung rinjani. Sudah banyak orang dengan niatan yang sama duluan tiba di sana. Kebanyakan mereka adalah remaja laki-perempuan. Sebuah plat besar bertuliskan "... terentang di kaki sebuah bukit. Jalanan berakhir di sebuah gerbang. Di dalamnya ada pelataran semen bertembok besi. Masuk ke situ bayar lima ribu rupiah untuk dewasa saja. Anak-anak tak kena bayar. Dari pagar ini bisa terlihat pemandangan atap-atap rumah penduduk jauh di lembah sana. Gunung-gunung tebing bertudung rumput hijau seperti savana. Beberapa ekor monyet bergelayut di pagar-pagar pengaman itu. Ada yang berdiri tegak dan jalan seperti manusia, memberanikan diri menghampiri pengunjung, minta dilempari kacang. Sedang orang-orang ada yang peduli tapi kebanyakan tidak menggubris. Yang belakangan ini lebih tertarik meniru tingkah primata itu, merangkak dan memanjati bukit-bukit terjal di kiri kanan jalan buntu sembari membawa tongsis. Dari atas bukit itu tongsis diacungkan tinggi-tinggi ke depan muka seperti pesulap. Lalu akan banyak ekspresi wajah yang terlihat di depan be da setelapak tangan itu. Dari senyum girang mengembang bak manten baru, menyeringai seperti sapi, meringis seolah barusan kena cubit mamanya, manyun mirip bocak nggak kebagian jajan, monyong kayak calon bupati kalah pilkada, menjulurkan lidah persis scooby kehausan atau menjulingkan mata seolah ada lalat hinggap di ujung hidungnya. Ada pula yang minta difoto temannya pake kamera panjang. Yang ini modelnya lain lagi. Ada yang merentangkan tangan seperti penyihir, mendongak ke langit seolah minta hujan, menunjuk awan seperti anak kecil baru melihat pesawat terbang, bertolak pinggang kayak mandor, bersedekap seperti orang kedinginan, menaikkan jempol mirip bintang iklan penyedap rasa, malah ada yang mengepalkan tangan meniru bung tomo. Posisi apa pun diperbolehkan. Ada yang berfoto sambil ngangkang, membungkuk, jongkok dan seandainya tidak malu, mungkin ada yang dijepreti blitz sambil tiarap. Intinya orang-orang ini bersuka cita demi sampai ke tempat berfoto latar gegunungan itu. Ujung-ujungnya bisa ditebak bahwa foto-foto ini akan dipamerkan di medsos. Demikian model manusia di zaman digital. Sedang berfoto ria di pelataran, fia merengek minta susu padahal botol susunya tertinggal di mobil. Aku jadi menyesalkan kelalaian mamanya. Terpaksa mereka balik ke parkiran. Oya, aku jadi lupa bercerita tadi bahwa yang perlu dibenahi di sini mungkin adalah tempat parkirannya, khususnya parkiran roda empat yang masih agak sempit. Mobil cuma diparkir di pinggir jalan dengan dijaga beberapa tukang parkir. Di samping parkiran berderet beberapa tempat jualan makanan ringan dan kopi yang sayangnya kurang terjaga kebersihannya. Saat baru datang, terlihat seekor monyet memungut bungkusan bekas sambal bakso dari serakan sampah dan mengisapnya seperti bocah mengisap es lilin. Dari parkiran mamanya fia melambai-lambaikan tangan. Pintu mobil terkunci,katanya. Sedang kunci mobil dikantongi oleh omnya yang lagi selfie di atas bukit. Jadilah aku ikut manjat ke bukit demi kunci mobil. Tak ada tangga untuk ke sana. Hanya setapak berbatu yang kalau tidak hati-hati memposisikan kaki, bakal tergelincir dan terguling dari ketinggian. Ini jadi catatan lagj bagi pemda: perlu dibikinkan tangga bagi pengunjung yang hendak ke "bukit selfie". Sepanjang mendaki seperti kera itu, terbayang di kepala jalanan setapak dari kebun-kebun menuju kampung di daerahku. Tidak jauh beda. Yang membedakan, pengunjung di sini mendaki sambil menenteng kamera sedangkan di kampung, sembari memikul karung kelapa. Maka tampaklah aksiku di depan kamera seperti foto-foto di bawah ini Strrawberry Setelah urusan selesai di kaki rinjani, rombongan berangkat ke tempat lain. Kali ini perjalanan menurun, mengulari kaki perbukitan dan mampir beli stroberi. Pemandangan sekitar pun tidak kalah indahnya. Pada suatu tempat yang masih dalam wilayah sembalun, dua mobil berhenti dan parkir di sebuah simpang tiga yang agak jauh dari perkampungan. Penumpang turun menggelar tikar dan membuka bekal. Santap siang beramai-ramai sambil menikmati keindahan alam. Koko puteh Perjalanan dilanjutkan mengulari bukit demi bukit,melewati kampung demi kampung, berkelok naik turun dan rombongan berhentilah di tepi sebuah kali berair jernih yang memotong jalan setelah menyeberang jembatan. Inilah yang dinamakan koko puteh, bahasa sasak yang berarti kali putih. Dinamakan begitu karena bebatuan di kali tersebut berwarna keputih-putihan. Di sini ada mushollah dan karena sudah masuk waktu dhuhur, rombongan pun singgah untuk sholat. Di mushollah ini tak ada kran air untuk berwudhu. Air sembahyang diambil dengan menciduk air sungai yang bening dan tidak berbau. Walau demikian tentu airnya tidaklah steril karena kita tidak tahu apa yang telah terjadi di hulu sana. Mungkin di sini kita berkumur dari bekas cebokan dan buang air para "penghulu". Untuk menghindari suudzon, aku ingat orang-orang tua di kampungku punya kepercayaan bahwa air sungai sudah ditapis oleh nabi khidir. Tak tahu dari mana kepercayaan tersebut bermuasal. Selain menjadi tempat peristirahatan dan sholat, kali putih ini juga menawarkan keindahan tersendiri. Airnya yang bening mengalir lancar disela bebatuhan berwarna keputihan sana-sini. Lolos dari bawah jembatan, air meluncuri tebing kecil membentuk sebuah air terjun mini. Di bawah air terjun terdapat sebuah permukaan landai yang agak luas berisi kerikil-kerikil sebesar kelereng. Pada taman mungil alami itu dibangun dua buah ayunan. Para pengunjung bisa berayun sambil merendamkan kaki ke air dan jika kepala didongakkan, akan terlihat tebing-tebing tinggi di kiri-kanan yang dibelah oleh aliran sungai ini. Kalau perut lapar atau kerongkongan kering, boleh juga mampir di warung-warung kecil dekat situ. Tapi paling afdol disarankan bawa bekal sendiri karena seperti pengalaman, harga makanan lumayan agak mahal. Walau demikian, masuk ke kawasan wisata koko puteh tidak dipungut bayaran. Mesjid tua bayan Masih di kawasan lombok utara, setelah asyik bercengkrama dengan alam hasil karya sang maha pencipta, maka tiba waktu masuk mengunjungi salah satu tempat yang dianggap kudus oleh orang lombok ialah mesjid tua bayan yang dipercaya sebagai titik pertama masuknya islam di tanah lombok. Tempat untuk memuja sang pencipta. Akses menuju tempat ini tidaklah sulit karena berdekatan dengan jalan raya. Masuk ke pintu gerbang disambut oleh pengurus di situ dan diwajibkan mengisi absen: nama, jumlah peserta yang akan berkunjung serta berapa uang yang bisa didonasikan. Tidak dipatok seberapa besar. Seikhlasnya saja. Bangunan kompleks mesjid tersebut yang terhitung olehku ada 4 buah. Bangunan utama sendiri tentunya mesjid kuno berdinding dan beratap bambu. Pada puncak atap dipasangi hiasan berupa ukiran kayu. Pintunya yang juga dari bambu, terkuncinrapat. Konon mesjid ini tidak dipakai sholat lima waktu. Hanya dibuka saat ada perayaan keagamaan. Bangunan di sebelah mesjid adalah tempat menyimpan tuak dengan material yang sama dengan mesjid, dari bambu. Di sinilah tuak disimpan dan baru dibuka saat ada perayaan, diminum di dalam mesjid sampai mabuk! Masya Allah. Bangunan lain yang masih juga berdinding dan beratap bambu adalah makam yang dipercaya makam wali, mungkin pendiri mesjid tersebut. Agak susah mendapat informasi lengkap karena tidak ada guide yang bisa menjelaskan. Pintu makam ini pun terkunci jadi tidak bisa ketahuan macam mana isinya. Info ini kudapat hanya dari hafifi yang sering mengantar turis ke tempat inj Bangunan berikutnya adalah tempat menyimpan perkakas. Mungkin perkakas kuno yang ada kaitannya dengan ritual-ritual yang diadakan di mesjid. Air terjun sendang gile Menuju air terjun sendang gile, perjalanan kembali menanjak. Namun fasilitas di salah satu air terjun yang terkenal di lombok utara ini terbilang lengkap. Guest house sampai tempat loundry ada di mana-mana. Ada parkiran yang cukup luas dan restoran. Sebelum masuk ke kawasan air terjun sendang gile, bayar 5 ribu rupiah per orang. Tantangannya mungkin adalah harus cukup tenaga untuk menuruni sekitar empat ratus anak tangga menuju air terjun, dan kembalinya lebih berat lagi karena anak tangga yang dituruni tadi harus didaki. Namun di sana adapula fasilitas ojek bagi yang sudah terkuras tenaganya sehabis mandi-mandi di air terjun. Ongkos ojek 30 ribu rupiah. Banyak turis yang berpapasan dengan rombongan kami saat menuruni anak tangga. Ada turis sawo matang rambut hitam, kulit kemerahan rambut jagung, kulit putih mata sipit sampai kulit hitam rambut lurus dan kulit hitam keriting. Terlihat mereka ngos-ngosan menapaki tangga semen. Ada yang sampai bawa tongkat. Melihat Kak Kiah, kakak iparku yang paling sulung menggendong fia, salah satu wanita bule itu ngangkat jempol. "Good!good!", katanya. Mungkin dia takjub, ada wanita asia bertubuh mungil berani menuruni ratusan anak tangga sambil menggendong anak kecil. Di sekitar air terjun ada beberapa pedagang kopi dan jajanan. Ada kamar mandi dan mushollah. Yang disayangkan adalah kebersihannya yang kurang terjaga. Terlihat pula beberapa ekor anjing berkeliaran. Anjing kampung yang entah tersasar dari mana. Dan air terjun itu sendiri alangkah indah dan dahsyatnya. Meluncur dari ketinggian puluhan meter dengan debit yang amat besar, seperti digelontorkan dari cawan raksasa. Meluncur dan meluncur air itu tanpa henti menimpa bebatuan, menjiprat ke sana sini membentuk kabut tipis di sekitar tempiasannya. Para pengunjung yang merasa kuat nahan dingin lalu masuk ke dalam air jatuh itu. Tapi cuma kuat beberapa detik. Segera dia melompat keluar dan bersedekap sembari menggigil. Yang lain cuma berani berendam di kolam-kolam kecil di sekitar situ. Malah kulihat bule-bule yang tentu sudah terbiasa dengan temperatur dingin di negaranya, masih mikir-mikir untuk menadahkan badan di air terjun sendang gile. Salah satu mahluk buatan Tuhan ini memang gilee.. Buwuh, 9 Agustus 2017 Pantai Sire dan Malimbu Setelah berangin-angin di pusuk sembalun, menikmati jernihnya koko puteh dan menggigil di kejatuhan air terjun sendang gile, tiba giliran untuk menjejaki pantai lombok. Pada 8 Agustus kira-kira pukul satu siang, meluncur lagi kami sekeluarga dalam satu mobil avanza sewaan ke pesisir lombok utara. Jalanan mendaki memasuki hutan di perbatasan lombok barat dan utara. Setelah masuk pintu gerbang lombok utara perjalanan berkelok menurun. Kiri-kanan hanya pepohonan tinggi dan monyet-monyet berjemur di atas pokok kayu. Yang lain berkerumun dalam kelompok kecil-dua tiga ekor di pinggir jalan. Setelah kurang lebih sejam perjalanan, sampailah kami di sebuah pantai berpasir putih yang indah bernama Pantai Sire. Pantai tersebut nampak melingkari sebuah teluk. Beberapa meter bibir pantai yang terendam air masih kelihatan putih berkilau diterpa mentari sore. Nampak di kejauhan ada dermaga kecil dan beberapa perahu kayu sedang bersauh. Ada juga perahu yang lambung depannya bertumpu ke pasir sedang pantatnya masih mengapung di permukaan air. Beberapa orang nelayan sibuk mengerjakan sesuatu di perahu itu. Mungkin sedang memasangi mesin baru. Beberapa warung jajanan berdiri di pinggir pantai. Menandakan bahwa pantai ini sering dikunjungi walau tak kelihatan ada pengunjung selain kami hari itu. Masuj ke kawasan pantai ini tak dipungut bayaran. Anak-anak, termasuk fia dan sepupu-sepupunya:Nazril, Bilal dan Mira, sudah tidak sabar ingin berenang. Sedang aku yang ditugasi mengawasi mereka memutuskan untuk melihat-lihat dulu. Kuperhatikan bahwa pantai ini terbilang cukup mempesona untuk berselfie. Pemandangan pasir putih dilatari pegunungan, dermaga dan perumahan penduduk cukup layak dipajang di medsos. Tapi nampaknya tidak terlalu cocok untuk dipakai berenang. Saat itu memang ada terlihat orang berendam tapi sepertinya bukan pengunjung. Mereka adalah nelayan yang sedang memasang jaring atau mungkin bubu ikan. Dari kejauhan hanya kelihatan kepala mereka mendongak-dongak di permukaan air. Aku sendiri coba turun ke air dan menebak bahwa orang agak ogah berenang di sini karena sampah di mana-mana. Plastik dan bungkusan makanan, ditambah daun pama mengonggok sana-sini. Hanya beberapa meter saja di bawah permukaan air yang pasirnya tampak putih. Selebihnya terlihat hijau kehitaman oleh tumbuhan laut. Saat berpijak di pasir dekat tumbuhan itu, pasirnya terasa sangat lunak seolah bercampur lumpur. Di telapak kaki terasa geli. Dan memang selain aku dan anak-anak, tak ada anggota rombongan kami yang tertarik untuk berenang. Jadi karena dianggap bahwa pantai ini belumlah cukup untuk memenuhi dahaga berwisata, rombongan pun mengepak barang dan mencari pantai lain. Perjalanan menyusur pesisir yang berkelok terasa mengerikan karena di beberapa tempat ada tikungan tajam. Jalanan yang mulus itu bikin dengan ngebut dengan asyiknya. Kekecewaan terhadap Pantai Sire terbayar sedikit saat singgah berfoto sebuah ketinggisn di tikungan jalan. Dilatar belakangi sebuah teluk dan pantai membiru, pada tempat itu dipasanginplang nama, "MALAKA". Dan akhirnya tibalah kami di sebuah pantai yang kendati berpasir hitam tetapi cukup bersih. Inilah Pantai Malimbu. Ombaknya yang sebesar kasur mengguliri pasir, menggulung dan membuih, menyeret pasir ke kedalaman. Lalu datang lagi gelungan ombak berikutnya, bergemuruh, menyeret diri dan menghempas ke tepian. Terlihat beberapa remaja berenang dan bermain perahu di ujung teluk. Perahu mereka oleng dan terjungkit-jungkit dipermainkan gelombang. Di ujung teluk yang satunya sebuah batu besar mencongak ke permukaan air, bisu dan kesepian. Segera kami terjun ke air dan menadahkan badan ke arah ombak. Bersorak riuh dalam gulungannya, membiarkan diri terseret ke tepian lalu tersedak ketika tidak sengaja menelan air asin. Hidung perih, mata memerah tapi bibir tersenyum. Setelah capek berenang, badan kedinginan, perut pun melompong. Bersihkan badan di sumur terdekat. Sumur yang airnya ditimba dengan tali katrol dan dituang ke dalam kendil di dalam kamar mandi darurat. Kemudian duduk manis di atas bale bambu. Nasi yang dibawa dari rumah, sepiring plecing kangkung dan seekor ikan kerapu bakar yang disantap beramai pun mengobati kecapekan, kedinginan dan kelaparan itu. Jangan lupa menunggu sunset di Malimbu. Cahaya keemasan mentari sesaat sebelum menyelami horizon laut adalah latar yang elok untuk berfoto. Kolam di Bumpas Sekali ini tentang keluarga yang tinggal di kecamatan sebelah, kecamatan.. di sebuah kampung bernama bumpas. Dari buwuh ke sana naik motor sekitar 40 menitan. Jalanan cukup mulus dan tak macet. Hanya saat memasuki kampung jalan sedikit berlobang. Lepas dari jalan berlobang ini ada jalanan semen yang bercabang sana-sini. Dan di kanan-kiri terlihat kolam-kolam ikan yang menyegarkan pandangan. Setiap tepi kolam dipasangi pipa yang memancurkan air tak henti-henti. Jalanan semen ini kemudian masuk ke kampung. Rumah-rumah penduduk pun terlewati hingga sampailah kami ke rumah keluarga yang dituju. Rumah yang ditinggali berada di pinggir sungai. Rumah panggung berdinding gedek. Tapi penghuni rumah sedang tidak berada di situ. Mereka mendirikan gubuk tepat di pinggir kolam ikan. Menuju ke gubuk itu harus menuruni beberapa anak tangga yang disemen. Dan menuju gubuk tersebut kita akan melewati beberapa kolam ikan yang ditata laiknya taman. Berpetak- petak dan bersusun-susun. Ada yang segi empat ada yang bundar. Satu kolam dibuat sebagai tempat berenang anak-anak. Terlihatvada beberala ban dalam mobil bekas, mengapung. Di tiap kolam ada air memancar dari pipa-pipa. Ikan-ikan beraneka warna terlihat berenang di permukaan air. Sungai mengalir di samping kolam dengan latar pohon bambu. Berada di tempat yang jauh dari jalan raya ini yang terdengar hanya gemerisik angin, gesekan batang bambu dan aliran air. Sangat tenang. Ada tiga buah berugaq atau bale-bale yang didirikan di tepi kolam. Dua buah diperuntukkan sebagai tempat sholat. Satunya lagi tempat duduk-duduk. Yang empunya tempat sendiri tidak mengundang kami ke gubuknya, sebuah bangunan panggung yang kolongnya dijadikan kandang ayam. Cuma menjamu kami dengan kopi, ubi jalar dan rambutan di bale-balenya. Waktu pulang kami dibekali ikan nila satu kantong. Silaturrahmi Selama di lombok, selain mengunjungi tempat wisata, kami menyempatkan pula mendatangi keluarga mulai dari yang berduka karena ada yang meninggal beberapa waktu lalu, yang sedang berjuang melawan penyakit, yang sedang berbahagia menimang cucu sampai yang bersuka cita karena sebentar lagi naik haji. Sebagai adat di sana adalah membawakan beras, gula atau makanan ringan seperti biskuit setiap kali berkunjung. Beras dan gula untuk yang bertakziyah, makana ringan bagi yang baru saja ketambaan anggota keluarga, sedang yang hendberhaji tak dibawakan apa-apa

Comments
Post a Comment